Timika, fajarpapua.com – Pada acara pemancangan salib dan ibadah rekonsiliasi di Kampung Atapo, Distrik Kokonao pada Sabtu dan Minggu, (23-24/4), semua menyaksikan busana ikat kepala dan cawat yang digunakan ribuan warga suku Mimika Wee berwarna kuning dan putih.
Kain warna kuning dan putih yang terikat di kepala dan melingkar di dada, juga menyerupai cawat itu, tentu bukan secara kebetulan digunakan, terutama bagi umat Katolik asal Suku Mimika Wee di Distrik Mimika Barat Kokonao.
Bagi kampung lainnya, tidak menggunakan kain kuning, tapi hanya menggunakan busana adat, seperti tauri, anyaman tikar yang melingkar di dada serta mahkota di kepala berbahan bulu kasuari.
Para tamu dan undangan ikut menyesuaikan. Ada yang bergaya santai tapi sopan, ada juga yang memakai pakaian formal ditambahkan sedikit sentuhan adat pada busana, dan coretan kapur di wajah.
Penggunaan kain kuning dan putih, ternyata mendapat instruksi langsung dari Gereja Katolik Paroki Maria Bintang Laut Kokonao (MBL).
Pastor Gabriel Kera Tukan, SCJ selaku Pastor Paroki yang membawahi tujuh stasi pada Paroki MBL di Kokonao, dialah yang menyusun dan menyiapkan liturgi tata cara perayaan misa rekonsiliasi baik secara adat maupun secara gereja katolik.
Pastor Gabby, sapaan akrab Pater Gabriel menjelaskan, kain berwarna kuning dan putih sebagai lambang kemenangan Kristus.
“Melalui rekonsiliasi itu, orang Mimika-lah yang harus kembali menentukan sikap, komitmen, memikul salib Kristus dalam kehidupan sehari-hari, untuk bangkit, mandiri, berkarya dan sukses di atas Tanah Mimika,” tegas Pater Gabby.
Dikatakan, orang Mimika yang dulu pernah muncul, lalu tenggelam, kini melalui rekonsiliasi ini, sudah timbul kembali dan harus mampu menunjukkan bahwa Orang Mimika layak dan pantas disejajarkan seperti suku lainnya di Kabupaten Mimika dan Papua.
Awak media fajarpapua.com berhasil merangkum cerita dari beberapa tokoh adat, masyarakat di Kokonao pada hajatan kemarin, berkaitan dengan sehelai kain kuning dan putih itu.
Kain kuning seringkali digunakan pada tempat-tempat sakral, entah itu di makam-makan orang tua, daerah-daerah keramat, pepohonan, tugu atau pula pepohonan yang dianggap keramat bagi kelompok atau orang tertentu.
Jika pada hajatan pekan kemarin, kain kuning dan putih berhasil digunakan oleh representasi dari Orang Mimika pada 7 Kampung di Distrik Mimika Barat Kokonao, maka sudah pasti ada pesan yang tersirat dari segi sosial, ekologi lingkungan dan alam, adat serta sekaligus pesan tegas bahwa orang Mimika dari Nakai sampai Potowayuru pada bagian Barat Kabupaten Mimika, jangan diganggu.
Secara tidak langsung, tanpa disadari, kain kuning itu pun sekaligus sebagai bentuk nazar orang Mimika Wee kepada Tuhan, alam, leluhur dan sesama manusia. Kain kuning berarti, kemakmuran dan kelimpahan. Sementara kain putih berarti kesucian dan kemurnian. Dua warna itu melambangkan kelahiran baru orang Mimika Wee yang sebelumnya suku Kamoro.(edy)