BERITA UTAMAMIMIKA

Membangun Mimika Dalam Perspektif Mimika Wee

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
10
×

Membangun Mimika Dalam Perspektif Mimika Wee

Share this article
IMG 20220516 WA0023
DR. (C) Kanisius Jehabut, SH. MH

Oleh : DR. (C) Kanisius Jehabut, SH. MH

Timika, fajarpapua.com – Publik di Kabupaten Mimika ramai membicarakan perubahan nama Kamoro dari semula suku kamoro kemudian diganti menjadi suku Mimika Wee (Orang Mimika). Latar belakang sejarah menjadi alasan pergantian nama ini. Menurut yang pro-pergantian, nama suku Kamoro tak muncul dalam sejarah. Yang ada hanya Suku Mimika.

ads

Dominikus Mitoro (Media Fajar Papua/tanggal 22/4/2022) mengatakan, nama suku Mimika diambil karena Mimika memiliki daerah aliran sungai luas dan memiliki arus besar. Sungai tersebut bernama Mimiaika. Mimi artinya Air dan Aika, artinya arus. Dengan begitu, Mimiaika adalah Arus dari gunung.

Terarah Pada Kesejahteraan

Meskipun demikian, pergantian nama bukanlah sesuatu yang urgen. Yang paling penting adalah pergantian nama itu adalah sebuah harapan membangun kehidupan masyarakat Mimika Wee kearah yang lebih terhormat baik dari aspek ekonomi maupun aspek politik.

Perhatian terhadap aspek ekonomi dan politik bagi suku Mimika Wee di ataslah yang mendorong Keuskupan Timika dan tokoh-tokoh masyarakat Mimika mendukung perubahan nama ini. Artinya, pergantian nama ternyata disertai harapan menuju perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih sejahtera. Itulah sebabnya keuskupan Mimika rela melakukan rekonsiliasi melalui pertobatan massal bertempat di kota Kokonao beberapa pekan lalu.

Perubahan nama yang mengarah ke kesejahteraan ini juga diulas sangat baik budayawan Komoro, Dominikus Mitoro. Dominikus mengatakan nama suku Mimika mengacu pada daerah aliran sungai besar dan memiliki arus. Sungai tersebut bernama Mimiaika. Nama itu hadir sejak nenek moyang suku Mimika. Sementara untuk nama Kamoro mempunyai arti manusia yang hidup

Dilihat dari perspektif itu, pergantian nama dari suku Kamoro menjadi suku Mimika Wee mengandung sebuah harapan besar, yaitu, membangun kembali kepercayaan diri orang Mimika. Dalam sejarahnya memang, orang suku Mimika Wee banyak menjadi pendidik di berbagai sekolah di pegunungan dan pedalaman Papua. Namun dalam perjalan sejarah, pencapaian yang begitu besar hilang. Pendidik-pendidik seperti itu hilang ditelan sejarah. Kompeleksitas dibalik hilangnya pendidik-pendidik suku Komoro memang harus ditelusuri melalui penelitian mendalam.

Warga suku Komoro semakin tersisih seiring perkembangan kota Timika dan kehadiran perusahaan tambang, PT Freeport Indonesia. Warga Komoro seperti tak mampu bersaing dengan para transmigran dan pekerja-pekerja dari luar Timika. Itu yang membuat ruang mereka untuk berkarya di pemerintahan, perusahaan dan instransi-instansi lainnya semakin mengecil. Artinya, peluang ekonomi dan politik warga suku Kamoro di Mimika hampir minim. Bukan hanya itu. Warga Kamoro sebagai pemilik lahan di Mimika juga semakin hari semakin tersisih. Hanya beberapa pemukiman saja yang membuat mereka bisa menjadi besar. Namun, di pemukiman-pemukiman, seperti wilayah Koperapoka, Kampung Pisang dan Nawaripi tinggal sedikit dan sekarang justru menjadi minoritas.

Dalam kerangka itu, membangun sebuah kesadaran kolektif merupakan langkah yang mesti dilakukan semua pihak membangun kembali eksistensi masyarakat Mimika Wee yang sudah lama terabaikan. Kebijakan-kebijakan politik juga selama ini tidak berpihak pada mereka. Padahal, secara budaya, Komoro adalah suku yang tak terpisahkan dari sejarah Mimika.

Langkah kongkrit yang mesti dilakukan adalah tanah tempat berdirinya Ibu kota Kabupaten Mimika adalah tanah ulayat masyarakat adat Mimika Wee. Selain itu tempat pembuangan limbah tambang PT. Freeport juga adalah tanah ulayat masyarakat suku Mimika Wee. Ironisnya, orang Mimika Wee tersudut dan terisolir dari tanahnya sendiri. Mereka seolah menjadi penonton. Mereka hanya mampu meratap sambil menari dipinggiran limba tailing dan menangis ditengah gemerlap kota Timika. Suara rintihan mereka tak mungkin terdengar karena semua orang yang yang ada di sekitarnya sibuk memikirkan perkembangan kota sesuai dengan jaman baru, yaitu, modernitas dengan panji pembangunan.

Dalam pembangunan era baru yang dibawah modernitas, perjuangan untuk kembali merawat budaya lokal dan tradisonal dianggap ketinggalan kereta dan tak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam konteks Kamoro, perjuangan untuk menjaga dan melindungi komunitas masyarakat adat khususnya suku Mimika Wee hampir minim perhatian. Orang-orang yang memperjuangkan kebudayaan dan kesukuan trandisional semacamnya tak diperhatikan.

Salah satunya adalah perjuangan yang dilakukan oleh salah seorang budayawan Mimika Wee Dominggus Kapiyau, anak seorang Kepala suku. Dominggus adalah orang modern yang konsisten menjaga budayanya dengan lagu dan tari-tarian. Lewat karya-karyanya Dominggus Kapiyau ingin menunjukan keberadaan dan eksistensi sukunya. Sangat sedikit orang seperti ini yang meresapi dan paham isi dari karya-karya itu. Padahal, narasi-narasi yang dia bangun adalah membongkar fakta sejarah yang sangat penting untuk hari ini dan bagaimana membangun suku itu di hari depan.

Dalam sebuah diskusi dengan penulis Dominggus menceritakan bahwa alam dan manusia suku Mimika Wee mempunyai ikatan spritualitas yang tinggi. Orang Mimika itu konsisten menjaga keseimbangan hubungan baik dengan alam. Dominggus juga menjelaskan bahwa orang Mimika sangat menyayangi orang lain dan juga alamnya melebihi dirinya sendiri. Tidak heran kalau kita melihat banyak hutan adat orang Mimika Wee diserobot orang lain. Mereka justru tidak berusaha menentangnya, tetapi hanya berpasrah dan berserah kepada alam. Orang Mimika percaya alam kan melihatnya dan menghukum siapapun yang melakukan kejahatan terhadap alamnya. Untuk menjaga hubungan baik, orang Mimika menghindari konflik. Sayang memang, sikap ini disalah artikan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sejak Papua masuk kedalam bingkai NKRI berbagai upaya telah dilakukan negara dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang Papua tak terkecuali warga suku Mimika Wee. Pemekaran Kabupaten Mimika merupakan salah satu langkah nyata kehadiran negara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, tak terkecuali suku Mimika.

Berbagai kebijakan dan upaya memang telah dilakukan pemerintah membantu perkembangan suku Mimika. Freeport Indonesia, sebuah perusahaan yang beroperasi di Mimika juga ikut andil membangun daerah ini. Namun, harus diakui bahwa berbagai kebijakan belum mencapai hasil yang maksimal. Ketidakmasimalan ini boleh jadi karena kebijakan yang dibuat pemerintah dan perusahaan tak mengena sasaran. Perspektif yang diambil adalah perspektif pemerintah dan perusahaan yang hidup di era modern. Pemerintah tidak menggali nilai-nilai budaya suku Kamoro dalam mengambil kebijakan. Kita tahu perspektif mereka sangatlah lokal dan tradiosional. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipandang tradisonal tentu tak mesti harus didekati secara modern. Maka, pendekatan tradisonal dan budaya barangkali sangat membantu perkembangan suku Mimika Wee ke depan sabagaimana wacana perubahan nama Suku Kamoro ke Mimika Wee yang semakin ramai hari-hari ini.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *