Izinkan saya memulainya dengan mengingat apa yang dikatakan oleh Bung Hatta atau Mohammad Hatta, salah seorang proklamator Republik Indonesia yang pernah dibuang ke Boven Digoel, Papua pada zaman kolonial Belanda.
Bung Hatta mengatakan: “Memberikan otonomi kepada daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong berkembangnya oto-aktivitas. Artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya oto-aktivitas tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yakni pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri melainkan juga (dan terutama) memperbaiki nasibnya sendiri.” Demikian pandangan Hatta.
Sebagaimana pandangan Hatta, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara jelas memberikan arahan perihal pembentukan daerah-daerah otonom, dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yakni melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan seluruh warga negara Republik Indonesia berdasarkan falsafah Negara, yaitu Pancasila.
Demikian pula dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang….“.
Pimpinan dan para anggota yang terhormat,
Jika kaidah konstitusional UUD 1945 dan pandangan Hatta itu dihubungkan dengan otonomi khusus Papua, maka kita tentu akan membayangkan terciptanya pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat Papua. Itu dapat diartikan pula sebagai sebuah pemerintahan yang kebijakannya telah dirumuskan dengan melibatkan rakyat.
Namun sayangnya, bayangan ideal itu belum tercermin sepenuhnya dalam kenyataan. Dalam hal ini, MRP melihat dua kebijakan yang bermasalah dari segi pelibatan rakyat Papua maupun dari segi substansi kebijakan.
Pertama, permasalahan terkait UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Kedua, permasalahan terkait pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau Daerah Otonomi Baru (DOB). Saya akan menjelaskannya secara satu per satu.
Untuk yang pertama, kami menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU OTSUS yang berbunyi: “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Meskipun menggunakan kata “dapat“, ketentuan ini memiliki semangat otonomi khusus yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Amanat Pasal 77 pernah kami coba upayakan melalui diadakannya rapat-rapat dengar pendapat rakyat di Provinsi Papua sebelum adanya perubahan kedua UU Otsus. Upaya ini penting karena selaras dengan amanat Bapak Presiden dalam rapat terbatas kabinet pada 11 Maret 2020, yang mengajak semua kalangan, termasuk orang asli Papua, untuk mengevaluasi UU Otonomi Khusus.
Jadi sebelum perubahan kedua UU Otsus bergulir di DPR RI, MRP telah mengadakan kegiatan rapat dengar pendapat masyarakat di 28 kabupaten dan 1 kota yang tersebar di lima wilayah adat. Sayangnya, atas kecurigaan tertentu, upaya ini dihambat. Jajaran aparat keamanan di bawah instruksi Kapolda dan Kabinda Papua melarang kegiatan rapat dengar pendapat yang sebenarnya merupakan kegiatan resmi dari pelaksanaan tugas dan wewenang MRP.
Sayangnya, hal ini diabaikan. Aparat menghalangi warga, membubarkan rapat, hingga menangkap dan memborgol beberapa staff kami seperti yang terjadi di Merauke. Akibatnya, bukan hanya MRP tak dapat melakukan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang, yaitu menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat orang asli Papua. Tetapi perubahan kedua UU Otsus pun kurang mendapatkan dukungan atau legitimasi dari rakyat Papua.
Singkatnya, keseluruhan uraian ini menunjukkan adanya proses formil yang cacat, yang setidaknya tercermin dari tidak adanya konsultasi dan partisipasi yang bermakna rakyat Papua.
Seperti saya sebutkan, substansi Undang-Undang hasil perubahan kedua juga ternyata mengandung substansi yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Hal ini tercermin dalam sejumlah pasal yang berubah, bertambah, dan ada pasal penting yang justru berkurang, yang keseluruhannya berjumlah sebanyak 19 pasal. Padahal, surat Presiden tanggal 4 Desember 2020, isinya mengamanatkan perubahan terbatas pada tiga pasal, yaitu: Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 34 Keuangan Daerah, dan Pasal 76 Tentang Pemekaran Papua.
Bahkan setelah dikaji oleh MRP, setidaknya ada 9 (sembilan) yang secara substansial merugikan hak-hak orang asli Papua.
Karena itulah, MRP bersama MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagai pilihan upaya hukum yang bermartabat.
Sebenarnya ada pula keinginan kami untuk melakukan uji formil. Tetapi kami mencoba percaya, pimpinan dan para anggota DPR RI dapat memahami langkah kami ke MK tersebut. Kami memperkirakan bahwa MK akan mengambil putusan pada waktu yang tidak lama lagi.
Pimpinan dan para anggota yang terhormat,
Sekarang perkenankan saya untuk tiba pada permasalahan yang kedua. Kami juga menyesalkan proses formulasi pembentukan DOB atau pemekaran Papua yang tidak memperhatikan aspirasi rakyat Papua sesuai semangat otonomi khusus dan tak sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 76 UU OTSUS sebelum perubahan kedua. Sebelum perubahan kedua, ketentuan pasal ini berbunyi: “Pemekaran Papua menjadi provinsiprovinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.“ Ini artinya jelas, bahwa tanpa persetujuan dari MRP dan DPRP, maka tidak sepatutnya boleh ada pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Namun setelah perubahan kedua, terdapat tambahan ayat di pasal yang tersebut yang menyatakan pemerintah dapat melakukan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dengan dalih guna mempercepat pembangunan.
Kami menghormati pendapat yang mengatakan bahwa konsep otonomi pada umumnya memungkinkan dilakukannya pemekaran provinsi oleh pemerintah pusat, sebagaimana diatur undang-undang otonomi daerah. Namun menurut pendapat kami, Papua bukan berstatus otonomi daerah, sebagaimana disandang provinsi-provinsi pada umumnya di Indonesia. Papua berstatus otonomi khusus. Karena itulah maka tambahan ayat yang memungkinkan pemekaran provinsi dapat dilakukan oleh pemerintah pusat yang tanpa persetujuan daerah/MRP membuat semangat otonomi khusus ini menjadi hilang. Tidak perlu heran jika kembali timbul kekecewaan yang meluas di kalangan rakyat Papua.