Pimpinan dan para anggota yang terhormat,
Ada empat faktor lain yang juga penting untuk saya sampaikan dalam kesempatan ini. Ketentuan yang sama, yaitu Pasal 76, juga mengamanatkan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi sebelum pemekaran dilakukan. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa
“pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR P setelah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa yang akan datang.“
Mari kita jabarkan satu per satu.
Pertama, kesatuan sosial budaya. Faktor ini penting dipertimbangkan karena Papua memiliki sekitar 250 suku. Mempertimbangkan faktor ini adalah cermin penghormatan
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang….“.
Pembentukan tiga DOB yang diusulkan DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri saat ini belum mempertimbangkan kesatuan sosial-budaya. Berbeda halnya dengan usulan dari Gubernur Papua Lukas Enembe di mana pembentukan DOB mendasarkan pada tanah adat di Papua. Usulan Gubernur lebih masuk akal dibanding usul Mendagri.
Kedua, faktor kesiapan sumber daya manusia. Ini juga sangat penting karena saat ini masih banyak kantor di pemerintahan provinsi Papua yang kekurangan sumber daya manusia. Bahkan kantor yang ada pun belum signifikan terisi terutama oleh orang asli Papua. Belum lagi jika mempertimbangkan situasi keamanan. Menurut para akademisi, salah satunya dari Universitas Negeri Papua (UNIPA) Dr. Agus Sumule, wilayahwilayah yang akan dimekarkan itu masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah. Dr. Sumule menyarankan pemekaran ini ditunda, dan pemerintah fokus pada perbaikan tata kelola pemerintahan daerah dan meningkatkan akses OAP pada pendidikan yang bermutu.
Ketiga, faktor kemampuan ekonomi. Ini tidak kalah penting. Apakah daerah otonomi baru memiliki kemampuan ekonomi? Alasan ekonomi berupa rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) di sebuah provinsi adalah salah satu alasan mengapa Pemerintah Pusat memberlakukan moratorium pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) secara nasional. Pemerintah juga memberlakukan moratorium karena khawatir jika DOB akan membebani anggaran negara, di tengah kondisi fiskal keuangan negara sedang diberi arahan prioritas pada penanggulangan wabah, kesehatan dan infrastruktur.
Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi yang diklaim meningkatkan kesejahteraan harus disertai dengan dana yang sangat besar, masalahnya ini uangnya dari mana? Tidak ada relevansinya pemekaran DOB dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, apalagi rencana ini diformulasi dengan tergesa-gesa.
Keempat, faktor perkembangan di masa depan. Hingga saat ini belum ada kajian yang memberikan proyeksi perkembangan Papua di masa depan. Tanpa ada kajian terlebih dahulu, termasuk terkait dengan kebijakan Daerah Otonomi Baru, maka MRP khawatir bahwa situasi Papua justru bertambah semakin kurang kondusif.
Pimpinan dan para anggota yang terhormat,
Tentu ada faktor lain yang juga bisa ditambahkan selain apa yang saya uraikan. Sebagai contoh, di antara berbagai kemacetan pelaksanaan Otonomi Khusus, setidaknya terdapat tiga Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus yang sangat penting namun tidak mendapatkan dukungan Menteri Dalam Negeri selaku wakil Pemerintah Pusat. Pertama, Perdasus tentang definisi orang asli Papua. Kedua, Perdasus tentang partai politik lokal. Ketiga, Perdasus tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ketiga Perdasus ini penting untuk memastikan partisipasi, representasi, dan kepemimpinan orang asli Papua di dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dibayangkan oleh Bung Hatta.
Sekali lagi, tentu ada faktor lain yang bisa dibahas pula dalam pertemuan ini khususnya terkait DOB. Tetapi secara singkat, pertanyaan terpenting yang perlu dijawab secara jujur adalah apakah wacana kebijakan tentang pemekaran Papua benar-benar solusi tepat dalam memperbaiki situasi di Papua? Atau apakah memang kebijakan ini telah didahului kajian ilmiah berdasarkan keempat pertimbangan tersebut? Sepertinya masih jauh panggang dari api.
Kami menemui para pimpinan partai politik seperti Pak Airlangga Hartarto Golkar, Sufmi Dasco Ahmad Gerindra, Pak Zulkifli Hasan PAN, Pak Muhaimin Iskandar PKB, Pak Suharso Monoarfa PPP, dan Pak Ahmad Syaikhu. Tidak ada satu pun pimpinan partai yang menyatakan telah menerima adanya kajian ilmiah yang komprehensif. Mereka rata-rata menyatakan akan menghormati apa pun putusan Mahkamah Konstitusi. Ambil contoh pernyataan Pak Suharso, beliau mengatakan setuju untuk mempertimbangkan kebijakan DOB ini sampai ada putusan MK. Pak Airlangga, Pak Muhaimain, Pak Dasco dan juga Pak Syaikhu setuju agar putusan MK menjadi rujukan. Pak Zulkifli bahkan mengatakan DOB ini sebaiknya ditunda hingga Pemilu 2024 selesai dilaksanakan.
Kami juga membaca pernyataan Ibu Megawati selaku Ketua Pengarah Badan Riset dan
Inovasi Nasional (BRIN) yang juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sampai ikut mempertanyakan langkah kebijakan pemekaran provinsi yang tanpa memperhatikan faktor-faktor obyektif melalui riset. Salah satu yang dipertanyakan oleh Ibu Mega adalah apakah potensi pendapatan asli daerah sudah diperhatikan? Lalu Ibu Mega selanjutnya meminta agar BRIN melakukan riset. Jangan lupa, Presiden dan Wakil Presiden juga sedang meminta Gubernur Lemhanas untuk melakukan kajian soal Papua.
Selain Ibu Mega dan Lemhanas, ada banyak kalangan akademisi dan lembaga pegiat masyarakat sipil yang mengkritisi kebijakan pemekaran provinsi Papua. Dari berbagai lapisan masyarakat orang asli Papua, sampai mahasiswa dan akademisi dan peneliti LIPI atau BRIN.
Di Papua sendiri, selain berbagai unjuk rasa yang kami sebutkan di awal paparan ini, MRP juga telah menerima aspirasi penolakan pembentukan DOB yang disampaikan oleh berbagai kelompok diantaranya termasuk BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Cendrawasih dan sejumlah perguruan tinggi lain, PRP (Petisi Rakyat Papua), sampai delegasi DPRD Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Yahukimo yang telah diserahkan langsung kepada MRP. Ada banyak lagi aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat dan orang asli Papua yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu di sini.
Yang pasti, dan perlu kami sampaikan kembali kepada semua pihak, dua kebijakan ini memicu penolakan sosial yang tinggi melalui berbagai aksi unjuk rasa di Tanah Papua, antara lain di Jayapura, Wamena, Sorong, Kaimana, Timika, Nabire, Yahukimo, Mamberamo Tengah, dan Lanny Jaya. Unjuk rasa di Yahukimo Maret lalu, berujung kekerasan aparat yang mengakibatkan sejumlah warga yang mengikuti unjuk rasa mengalami luka-luka, dua diantaranya tewas. Unjuk rasa juga terjadi di Jakarta, Kupang, Ambon, Makassar, Bali, Surabaya, Malang, Semarang dan Yogyakarta. Ratarata mereka menolak dua kebijakan tersebut.
Memang ada unjuk rasa yang menerima DOB seperti di Merauke dan Manokwari. Namun sulit untuk tidak mengatakan bahwa sebagian besar sikap rakyat Papua yang tercermin dari unjuk rasa tersebut, cenderung bersikap menolak, termasuk menolak ide pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi yang dilakukan tanpa partisipasi dan konsultasi rakyat Papua. Merujuk ketentuan Pasal 76 UU Otsus No. 21/2001 kami sendiri juga menilai pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.
Pimpinan dan para anggota yang terhormat,
Dengan memperhatikan berbagai situasi obyektif itulah, maka kami mengajak siapa pun terutama kita semua yang ada di sini untuk mendorong kondisi yang kondusif di Tanah Papua dengan memperhatikan aspirasi rakyat Papua.
Kesimpulan sederhana yang bisa dipetik dari keseluruhan uraian ini adalah bahwa sebenarnya pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi, dalam hal ini pembentukan suatu daerah otonom baru, baik provinsi ataupun kabupaten/kota, sebenarnya bukanlah sesuatu yang tabu untuk dilakukan sejauh langkah itu mematuhi kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Oleh karena itu sebelum lebih jauh dengan pembentukan DOB di Provinsi Papua, kami meminta agar ada kajian yang komprehensif terlebih dahulu serta adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Ini artinya bahwa sebaiknya Pemerintah dan DPR RI melakukan penangguhan sementara atas RUU DOB.
Demikianlah pandangan Majelis Rakyat Papua, yang mudah-mudahan selaras dengan kaidah konstitusi, pandangan Mohammad Hatta, dan juga semangat otonomi khusus yang dilahirkan pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati.
Sekali lagi, terima kasih atas perhatian pimpinan DPR RI Khususnya pimpinan dan para anggota Komisi II yang telah membuka ruang bagi MRP dalam Rapat Dengar Pendapat ini. Kami berharap adanya kebijaksanaan dari Bapak/Ibu Pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI untuk mempertimbangkan pandangan MRP, dan menjadikannya sebagai landasan pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan selanjutnya.
Sekian dan terima kasih.