BERITA UTAMAMIMIKA

Mengkritisi Prosedur Peningkatan Status Hukum Kasus Pesawat dan Helikopter Milik Pemda Mimika

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
13
×

Mengkritisi Prosedur Peningkatan Status Hukum Kasus Pesawat dan Helikopter Milik Pemda Mimika

Share this article
Hyeronimus Ladoangin Kiaruma
Hyeronimus Ladoangin Kiaruma

Timika, fajarpapua.com – Staff pribadi Plt. Bupati Mimika, Johannes Rettob, Hyero Ladoangin, angkat bicara tentang munculnya Pemberitaan di media tentang dugaan korupsi seputar pesawat dan helikopter milik Pemda Mimika.

Menurut Hyero, dirinya curiga ada kelompok tertentu yang mendalangi baik itu pemberitaan maupun aksi demo mahasiswa di Jakarta sebelumnya.

Klik iklan untuk info lebih lanjut

“Belakangan ini ada beberapa media tertentu yang getol menulis berita tentang dugaan korupsi seputar pesawat dan helikopter milik Pemda Mimika. Ada pula beberapa aksi demo yang kami duga didalangi oleh kelompok tertentu yang merasa terganggu dengan adanya transisi kekuasaan di Kabupaten Mimika, pasca Bupati Eltinus Omaleng ditahan oleh KPK,” ujarnya kepada media, Rabu (09/11/2022).

Hyero menilai, Plt. Bupati Mimika JR sangat dirugikan dalam kejadian ini. Seharusnya pihak terkait menghormati asas praduga tak bersalah, dengan tidak menuding-nuding JR telah menjadi tersangka padahal tidak.

“Pemberitaan-pemberitaan dan aksi-aksi demo tersebut sangat merugikan Bapak John Rettob yang saat ini menjabat sebagai Plt Bupati Kabupaten Mimika karena namanya disebut-sebut, bahkan ada yang sudah menyebutnya sebagai tersangka, padahal sampai saat ini belum ada penetapan tersangka. Hal ini jelas bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang seharusnya dihormati semua orang,” terangnya.

Lewat media, Hyero berupaya menjelaskan duduk perkara secara keseluruhan sehingga masyarakat bisa mengerti dan tidak termakan isu dan berita hoax.

Berikut catatan lengkapnya Staff pribadi Johannes Rettob, Hyero Ladoangin

Substansi Perkara:

Untuk perkara korupsi yang mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara, unsur kerugian keuangan negara yang riil bersifat imperatif (wajib ada). Ini adalah konsekuensi dari perubahan konstruksi delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dari sebelumya delik formil menjadi delik materiil yang bertumpu pada akibat dari suatu perbuatan.

Kejati Papua sampai saat ini belum pernah melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini tetapi sudah meningkatkan statusnya ke penyidikan.

Ini tindakan prematur tanpa dasar dan menjadi sumber berbagai isu liar yang saat ini berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Angka kerugian keuangan negara yang disebut-sebut dalam pemberitaan media bukan angka resmi yang dirilis oleh Kejati Papua karena memang belum ada perhitungan kerugian keuangan negara.

Bukti pembelian pesawat dan helicopter ada dan jelas-jelas sesuai dengan yang dianggarkan (tidak ada indikasi mark-up) dan tertera Pemda Mimika sebagai pihak pembeli.

Adapun perubahan angka dari 79 Miliar menjadi 85 Miliar adalah akibat adanya perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pada saat transaksi dilakukan, bukan mark-up. Semua ada buktinya.

Jika dikatakan bahwa ada dugaan praktek nepotisme dalam perjanjian pengelolaan, maka harus dilihat dahulu unsur-unsur nepotisme yang diatur dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah diubah dengan UU 30/2002. Unsur-unsur nepotisme dalam beleid a quo antara lain “adanya perbuatan melawan hukum oleh penyelenggara negara” dan “ada pihak yang diuntungkan”.

Unsur perbuatan melawan hukum oleh penyelenggara negara disini dapat dimaknai sebagai penyalahgunaan wewenang.

Sedangkan unsur “diuntungkan” disini harus ada perhitungan yang riil yang didasarkan pada komparasi dengan nilai kontrak yang lazim pada saat kontrak dibuat.

Secara kasat mata, nilai kontrak (setoran dari Asian One Air sebagai pengelola kepada Pemda sebagai pemilik) sebesar Rp. 12 juta per jam operasi adalah wajar sehingga mustahil untuk dikatakan pihak pengelola diuntungkan.

Dengan demikian maka dugaan nepotisme pun dapat dimentahkan.

Dalam hukum acara pidana, peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup (minimal 2 alat bukti).

Untuk kasus dugaan korupsi yang mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara, angka kerugian negara adalah mutlak harus ada. Angka ini hanya didapatkan dari LHP BPK atau audit investigasi.
Jika itu belum pernah dilakukan, maka peningkatan status perkara patut dipertanyakan motivasinya.

Kejati Papua sebaiknya lebih mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penanganan perkara karena berdampak luas dan dalam hal ini sangat merugikan nama baik Bapak John Rettob.

“Jika pemberitaan yg menyudutkan Bapak John Rettob terus dilakukan tanpa ada dasar yg jelas, maka kami akan mempertimbangkan untuk melakukan upaya hukum terhadap pihak-pihak yg ditengarai ada di balik pemberitaan tersebut,” katanya.(tim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *