BERITA UTAMAMIMIKA

Kesalahan Kejati Papua, Gunakan Akuntan Publik Hitung Tipikor Pesawat, Padahal Itu Kewenangan Mutlak BPK

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
10
×

Kesalahan Kejati Papua, Gunakan Akuntan Publik Hitung Tipikor Pesawat, Padahal Itu Kewenangan Mutlak BPK

Share this article
2576557b 3001 492e 9b34 d14030416509
Suasana sidang praper hari kedua, Kamis (9/3).

Timika, fajarpapua.com – Sidang praperadilan yang dilayangkan kuasa hukum Plt Bupati Mimika, Johannes Rettob dalam kasus dugaan tipikor pengadaan pesawat dan helikopter pada Kamis (9/3/2023) memasuki hari kedua.

Pada sidang hari ini, penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua menyerahkan bukti dugaan korupsi pesawat yang merupakan Laporan Hasil Audit Investigasi Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad, Nomor: 00176/2.0604/AP.7/09/0430/1/XI/2022 tertanggal 11 November 2022, yang mana menghitung kerugian keuangan negara sebesar Rp69.135.404.600. Sekedar diketahui, dalam investigasi tersebut, pihak kantor KAP Tarmizi Achmad tidak melakukan investigasi terhadap Plt Bupati Mimika Johannes Rettob selaku kunci utama yang mengetahui prosedur pengadaan pesawat tersebut.

ads

Jaksa juga memasukkan bukti lain berupa Surat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP Perwakilan Provinsi Papua Nomor: PE.11.03/LHP-323/PW26/3.2/2022 tertanggal 08 Agustus 2022 yang menyatakan terdapat kewajiban PT. Asian One Air membayar kepada Pemkab Kabupaten Mimika sebesar Rp21.848.875.000, namun tidak dibayar. Sekedar diketahui, persoalan hasil LHP BPKP bukan merupakan tindak pidana korupsi, namun wanprestasi atau persoalan perdata antara pengelola dan Pemda Mimika.

Lalu siapa yang mestinya berhak menghitung kerugian negara. Menyoal kewenangan penetapan kerugian negara, pada dasarnya terdapat tiga lembaga yang boleh menghitung dan menetapkan adanya kerugian negara dalam kasus tipikor yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komisi Pengawas Korupsi (KPK).

Kewenangan BPK dan BPKP
Kewenangan BPK untuk menghitung dan menetapkan kerugian negara diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK. Sementara Pasal kewenangan BPKP untuk diatur dalam Pasal 3 huruf Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Sebagaimana dikutip dalam artikel Klinik Hukum “Pihak yang Berwenang Menilai Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi”, pihak yang berhak menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Namun rupanya kewenangan siapa yang berhak menetapkan ada tidaknya kerugian negara ini sempat menjadi polemik dalam proses pembuktian di sidang tipikor.

Untuk menjawab polemik ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara.

Selengkapnya berbunyi: “6. Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.”

Ini artinya, SEMA 4/2016 menegaskan bahwa lembaga yang berhak menghitung dan menyatakan adanya kerugian negara adalah BPK. Sementara lembaga lain seperti BPKP hanya berwenang melakukan penghitungan kerugian negara, tapi tidak berhak menyatakan adanya kerugian negara.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur pada 2017 lalu menceritakan ihwal munculnya rumusan tersebut dalam SEMA. Ia menjelaskan, BPK dan BPKP memiliki ruang lingkup tugas yang berbeda. Tak jarang penghitungan BPK pun berbeda dengan penghitungan BPKP.

“Sebab, selama ini hasil audit BPK dan hasil BPKP berbeda-beda. Bahkan, pihak terdakwa dengan kesaksian (keterangan ahli) meringankan mengajukan auditor independent. Kalau seperti ini akan terus menjadi perdebatan. Ini juga untuk kesamaan dan percepatan pengurusan perkara korupsi,” tuturnya.

Secara konstitusional, kewenangan BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK.

Pasal 1 angka 1 UU BPK: “Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pasal 10 ayat (1) UU BPK: “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”

Kewenangan KPK
Bagaimana dengan KPK? KPK memiliki Unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi yang bertugas menghitung kerugian negara dalam kasis tipikor. Kewenangan KPK untuk penghitungan kerugian negara, ditegaskan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menyatakan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain.

Putusan MK tersebut juga menyatakan bahwa KPK bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *