Penulis : Hieronimus Ladoangin Kiaruma
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Timika, fajarpapua.com – Kejaksaan Negeri Mimika bisa dikatakan sebagai salahsatu instansi vertikal yang sering menerima bantuan dari Pemerintah Kabupaten Mimika dibanding instansi sejenis lainnya.
Dari catatan yang ada pada Tahun 2021 lalu, sesuai daftar isian pelaksanaan anggaran atau DIPA maupun dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) Tahun Anggaran 2021 di Bagian Umum Setda Mimika, Pemda Kabupaten Mimika menggelontorkan hibah sebesar Rp 11,5 miliar rupiah untuk Polres Mimika dan Kodim 1710 Mimika serta Kejaksaan Negeri Timika.
Dan terbaru Kejari Mimika pada Selasa (22/3) menerima bantuan mobil operasional dari Pemda Kabupaten Mimika untuk mendukung operasional sebagai pengacara negara.
Bantuan tersebut diserahkan langsung oleh Eltinus Omaleng, Bupati Mimika kepada Sutrisno Margi Utomo, Kepala Kejari Mimika di halaman Kantor Bappeda Kabupaten Mimika.
Kejaksaan Negeri Mimika sebagai penegak hukum yang merupakan pejabat atau institusi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena pemberian hadiah atau bantuan tersebut bisa masuk dalam kategori gratifikasi.
Artinya, ketika gratifikasi diserahkan kepada pejabat negara ketika ada hubungannya dengan tugas-tugas yang bersangkutan atau si penerima maka itu sudah termasuk dalam suap.
Untuk melihat hal itu mari kita bahas pengertian gratifikasi dalam arti yang luas, sebagaimana penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 31/1999 jo. UU 20/2001 adalah “pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya
Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap pemberian obyek sebagaimana disebutkan di atas kepada aparat pemerintahan merupakan gratifikasi.
Meski demikian makna gratifikasi yang dimaksud disini bersifat netral, sehingga untuk dapat dikatakan gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi maka harus dilihat rumusan Pasal 12 dan Pasal 12B UU 20/2001.
Pemberian barang berupa mobil oleh Bupati Mimika kepada Kejaksaan Negeri Mimika jika dilihat dalam pengertian yang luas, maka dapat dikatakan sebagai gratifikasi, meskipun itu dilakukan atas nama institusi.
Dan hanya akan berkategori tindak pidana korupsi jika memenuhi rumusan Pasal 12 atau Pasal 12B UU 20/2021.
Pertanyaan kritisnya kemudian adalah “Bagaimana jika subyek pemberi dan penerima adalah institusi (legal person), bukan orang (natural person)?”
Aspek Yuridis
Konstruksi Pasal 12 UU 20/2001 yang menggunakan kata “pegawai negeri” memang meng-addresat pada natural person, tidak termasuk legal person-yang biasanya ditandai dengan kata “barangsiapa”.
Ini berarti bahwa jika bantuan tersebut tidak berimplikasi pada tindakan oleh person di kejaksaan ketika menyidik perkara yang berhubungan dengan person dalam institusi pemberi hadiah, maka bukan sebuah tindak pidana korupsi.
Namun, jika terjadi sebaliknya, apabila ternyata ada perkara yang ditangani oleh kejaksaan berhubungan dengan institusi Pemda, baik kepala daerah maupun ASN di lingkup Pemda Mimika, maka rumusan Pasal 12 UU 20/2001 dengan sendirinya terpenuhi dan merupakan suatu tindak pidana korupsi.
Aspek Etika
Selain itu, pemberian hadiah kepada siapapun atau institusi apapun harus mempertimbangkan aspek etika kelembagaan.
Dalam hal ini, Pemda Mimika harus menjaga kepantasan pubik. Rasanya tidak elok ketika ada institusi publik yang seharusnya diawasi dalam menjalankan tugas-tugasnya, secara terbuka memberikan hadiah kepada institusi yang bertugas mengawasinya.
Patut dicatat juga bahwa selain hadiah mobil, Pemda Kabupaten Mimika pada Tahun 2021 lalu juga menganggarkan bantuan hibah untuk pembangunan gedung Kejaksaan Mimika.
Kejaksaan, yang masuk dalam ranah yustisi adalah merupakan urusan pemerintahan absolut yang jadi tanggung jawab Pemerintah Pusat sebagaimana ditentukan dalam UU Pemda.
Hal ini tentu dimaksudkan agar dalam menjalankan tugasnya di daerah, tidak terjadi konflik kepentingan.
Selain itu, apa urgensi pemberian hadiah mobil yg justru menciderai Independensi dan imparsialitas Kejaksaan?
Pemberian hadiah oleh siapapun kepada aparat penegak hukum tentu akan dipertanyakan motifnya apalagi pihak yang memberi adalah institusi yang justru harus diawasi oleh pihak penerima.
Untuk itu, sebaiknya pemberian hadiah semacam ini sebaiknya harus dihindari demi menjaga martabat Pemerintah Daerah dan juga independensi dan imparsialitas lembaga Kejaksaan.
Saran saya, kejaksaan sebaiknya segera memberitahukan kepada KPK ihwal hadiah mobil tersebut atau yang paling aman, mengembalikan mobilnya.
Bupati dan Kejaksaan sebagai institusi harus dilindungi dari tindakan-tindakan yang berpotensi mendegradasi martabat kelembagaannya.***