Timika, fajarpapua.com- Sulitnya pemerintah dalam membangun infrastruktur di Area Pelabuhan Pomako akibat permasalahan tanah membuat penyidik Kejari Timika turun tangan.
Berdasar data awal, permasalahan lahan itu timbul karena adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah dan bahkan telah memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat.
“Para pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah disekitar Pelabuhan Pomako memiliki bukti kepemilikan baik dengan status hak milik maupun hak guna bangunan. Tentunya, hal itu membuat pemerintah tidak bisa berbuat banyak,” ujar Kajari Timika, Sutrisno Margi Utomo yang didampingi Kasi Pidsus, Donny S Umbora dan Kasi Intel Masdalianto, SH saat jumpa pers yang digelar di Aula Kejari Timika, Jumat (10/6) kemarin.
Dari data yang ada lanjutnya, sebelum Tahun 2000 kawasan di area pelabuhan masih berstatus hutan lindung sehingga tidak memungkinkan semua pihak termasuk pemerintah melakukan aktivitas di lokasi tersebut.
Namun demi kepentingan pembangunan dan perluasan Pelabuhan Pomako, Pemda Mimika mengajukan penurunan status kawasan menjadi area penggunaan lain (APL) kepada Kementerian Kehutanan RI di Jakarta.
Setelah mendapat persetujuan, lanjut Kajari Sutrisno, pada 23 Oktober 2000 Pemda Mimika telah membentuk panitia pengadaan tanah untuk pembangunan Pelabuhan Pomako sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
“Pada Tahun 2000, Pemda Mimika sudah melakukan pembebasan lahan seluas 5 juta meter persegi atau 500 hektar saat lokasi tersebut masih hutan dan belum ada jembatan penghubung,” jelas mantan Kajari Kaimana tersebut.
Bahkan untuk membebaskan lahan tersebut menurut Kajari Sutrisno, Pemda Mimika telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 6.775.130.000 yang diterima masyarakat Hiripau dengan rentang pembayaran dari Tahun 2000 hingga Tahun 2008.
Namun ada keanehan karena meski telah dilakukan pembayaran untuk pelepasan lahan pelabuhan, tapi hingga saat ini pemerintah daerah menyertifikatkan aset tersebut.
Celah inilah yang kemudian diduga dimanfaatkan oleh para pihak yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut untuk mengurus penerbitan sertifikat kepemilikan baik hak milik dan sertifikat hak guna bangunan.
Menurut Kajari Sutrisno, padahal seharusnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak boleh melakukan penerbitan sertifikat karena lahan yang diajukan oleh pemohon adalah tanah milik pemerintah.
Berdasar fakta tersebut termasuk keterangan dari sejumlah pihak pemilik hak Ulayat yang masih hidup serta berdasar penyelidikan dan klarifikasi terhadap berbagai pihak, Kejari Timika menduga adanya permainan mafia tanah sehingga terdapat pihak swasta yang memiliki bukti kepemilikan lahan di Area Pelabuhan Pomako.
“Kami menduga penerbitan sertifikat kepada pihak swasta di lahan yang berada di Area Pelabuhan Pomako dilakukan dengan tidak prosedural dan diduga telah terjadi tindak pidana korupsi,” lanjut Kajari Sutrisno.
Akibatnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika terancam kehilangan aset tanah dengan nilai fantastis yang berada di Area Pelabuhan Pomako.
Kajari Sutrisno mengatakan, aset tanah Pemda Kabupaten Mimika yang terancam hilang saat ini memiliki nilai sekitar Rp 100 miliar.
“Tindakan mafia tanah yang diduga bermain dalam penerbitan sertifikat tanah di Pelabuhan Pomako sesuai pendapat ahli berpotensi merugikan negara hingga 100 miliar rupiah,” ujar Kajari Sutrisno yang pernah mengungkap korupsi penyalahgunaan dana hibah pembangunan Masjid Al Hijrah Kampung Karawawi, Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana.
Menurutnya, masalah ini sangat serius sehingga Kejari Timika akan menyikat semua pejabat maupun pihak-pihak yang terlibat dalam praktek mafia tanah tersebut.
“Penyidik kejaksaan akan melakukan kroscek apakah ada kelalaian atau kesengajaan dari pemerintah daerah atau pejabatnya. Siapapun yang ada dibelakang akan kita proses. Tidak peduli itu pejabat Pemda Mimika, BPN atau pihak lain,” tegasnya.(mas)