BERITA UTAMAMIMIKA

Hak Sebagai Penyidik dan Penuntut Membuat Jaksa Sewenang-wenang, Kuasa Hukum Plt Bupati Mimika Ajukan Gugatan ke MK

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
8
×

Hak Sebagai Penyidik dan Penuntut Membuat Jaksa Sewenang-wenang, Kuasa Hukum Plt Bupati Mimika Ajukan Gugatan ke MK

Share this article
IMG 20230306 WA0053
M. Yasin Djamaluddin, SH, MH

Jakarta, fajarpapua.com – M. Yasin Djamaluddin, SH, MH, pada Senin (6/3) hari ini mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Gugatan dilayangkan lantaran Djamaluddin yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty telah menjadi korban kesewenangan-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua dengan keberadaan pasal tersebut.

Ads

Kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/3), Djamaluddin mengemukakan, perkara bermula Johannes Rettob, S.Sos, MM, dan Silvi Herawaty ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 25 Januari 2023 atas dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pesawat dan helikopter.

Penetapan tersangka tersebut tidak didasarkan bukti permulaan yang cukup, sehingga M. Yasin Djamaluddin, S.H., M.H., yang merupakan kuasa hukum Tersangka Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty mengajukan praperadilan untuk menguji prosedur penetapan tersangka telah sesuai atau tidak.

Setelah mengetahui adanya Praperadilan tersebut, walaupun proses penyidikan belum selesai yaitu belum ada pemeriksaan saksi dan ahli meringankan, penyidik Kejaksaan Tinggi Papua langsung melimpahkan berkas perkara ke Penuntut Umum dan selanjutnya langsung dilimpahkan ke Pengadilan agar permohonan Praperadilan tersebut digugurkan sehingga Kejaksaan Tinggi Papua selamat dari proses penetapan tersangka meski tanpa bukti permulaan yang cukup.

Hal tersebut diakui Djamaluddin selaku kuasa hukum pemohon praperadilan sangat dirugikan karena telah menghilangkan hak Tersangka untuk menguji proses penetapan tersangka yang benar sesuai dengan asas due process of law. Sehingga Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), harus ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila Permohonan Praperadilan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, maka Pokok Perkara haruslah ditanggungkan sampai adanya putusan Praperadilan, agar prosedur, keadilan dan transparansi penegakan hukum berjalan dengan baik.

“Bahwa kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disisi lain juga sebagai penuntut mengakibatkan tidak adanya checks and balances dalam proses penyidikan, sehingga sangat mudah untuk menyatakan berkas perkara lengkap dan dapat segera dilimpahkan,” ujarnya.

Kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut telah membuat kejaksaan menjadi lembaga yang sewenangan-wenang dalam proses penyidikan karena yang melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara adalah kejaksaan juga yang notabene adalah teman sendiri.

Dikatakan, dalam perkara Johannes Rettob, S.Sos., M.M., dan Silvi Herawaty hak tersangkapun diabaikan demi menggugurkan praperadilan. Hal tersebut telah membuktikan Kejaksaan Tinggi Papua tidak siap dengan materi proses penetapan Tersangka, hanya siap dengan strategi menggugurkan praperadilan dengan cara melimpahkan berkas perkara.

“Supaya ada checks and balances dalam proses penyidikan dan menghilangkan kesewenangan-wenangan Kejaksaan dalam proses penyidikan, maka kewenangan penyidikan tindakpidana tertentu sebagaimana Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia haruslah ditiadakan oleh Mahkamah Konstitusi karena sudah ada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang notabene adalah Penyidik,” ujarnya.

Selain itu juga, untuk menghindari Dwi fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum yang menjadikan jaksa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan dan untuk menghindari tumpang tindih penyidikan, maka Kejaksaan harus dikembalikan ke kewenangan yang hakikinya yaitu Penuntutan bukan penyidikan.

Pasal 82 ayat (1) huruf d Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menurut Djamaluddin sering digunakan sebagai strategi untuk menggugurkan hak pencari keadilan terhadap kesewenangan-wenangan jaksa bukan hanya terjadi pada M. Yasin Djamaluddin, S.H., M.H., tapi kepada orang banyak.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *