Jangan biarkan damai ini pergi, jangan biarkan semuanya berlalu.
Sayup-sayup senandung jadul itu menyelinap diantara angkara panasnya siang Kwamki Narama, Sabtu akhir pekan (11/7). Bait-bait nan sendu terbang menerebos hutan-hutan belukar lalu hinggap di setiap telinga yang lewat.
Daerah itu, mutiara hitam di ujung timur Kota Timika, selalu terjebak dalam kubangan konflik yang terpolusi emosi kelam penuh kebencian.
Dulu, di atas hamparannya yang sejuk, pijaran api konflik seringkali berkobar, membakar banyak nyawa, rumah dan harta. Itu membuat serenade tangisan sendu tak henti meluap dari bibir-bibir mungil si rambut keriting hitam, meratapi kepergian orang tua, kakak, atau kakek terkasih.
Sebelum penyesalan pecah, kaki-kaki kecil itu masih sempat berlari kian kemari, ikut memantik adrenalin menyanyikan yel-yel perang penuh dendam, tanpa dia tahu yang dia hadapi adalah sanak saudaranya. Sanak yang ketika dulu masih damai adalah orang paling menyayanginya.
Itu kisah Kwamki Narama yang dulu, ketika namanya masih Kwamki Lama. Daerah tepian yang kini cerah. Punya sejarah kelam yang berhembus bersama angin, bergerak bersama waktu, meninggalkan jejak pada ingatan setiap orang yang lewat di situ kalau itu pernah jadi zona merah.
Kini, sepanjang jalur, daerah penuh misteri itu mulai terlihat asri. Aspal hitam yang mengular hampir lima kilometer menembus batas ibukota distrik Kwamki Narama, nama yang pernah dikenal paling angker di jagat adu nyali.
Saya menginjak pedal rem mengurangi laju kecepatan sepeda motor. Terusik bisikan dari gereja tua di sebelah kanan jalan. Gereja Kingmi, rumah Tuhan yang masih berdiri kokoh di sana. Tapi dindingnya sudah kusam, teras dan bingkai pinggiran gedung dengan luasan ratusan meter persegi itu diriasi rerumputan.