Oleh Dr. Nasaruddin Umar
Pemerintah resmi melarang mudik melalui Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 H dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 selama Bulan Suci Ramadhan 1442 H mulai tanggal 6 Mei 2021 hingga 17 Mei 2021, kebijakan ini terus diadendum hingga larangan mudik termasuk di wilayah aglomerasi atau pemusatan kawasan tertentu seperti Jabotabek yang berlaku sejak tanggal 6 Mei 2021.
Substansi hukum kebijakan pemerintah ini melarang apapun bentuk mudik antara kabupaten/kota Provinsi yang diperbolehkan hanya aktivitas yang esensial bagi segelintir orang yang melakukan perjalanan non mudik seperti perjalanan dinas, duka, perkawinan atau kepentingan persalinan, kendaraan distribusi logistik, dengan menggunakan surat izin perjalanan dan surat keterangan negatif covid-19.
Larangan mudik antar provinsi kabupaten/kota hingga mudik lokal oleh pemerintah seperti ini pada akhirnya menciptakan konflik legitimasi baik legitimasi secara hukum dan pada aspek sosial budaya dan menciptakan polemik dan resistensi di tengah masyarakat.
Kebijakan ini melahirkan resistensi sikap yang beragam dimasyarakat dan pemerintah daerah dalam menyikapi surat edaran larangan mudik sebab ada kesulitan pada tataran pelaksanaan dilapangan mutivasi masyarakat yang begitu kuat untuk mudik dibangun dari kesadaran kritis yang cukup kuat karena nilai-nilai budaya, religiusitas untuk bersilaturahmi, berkumpul dengan keluarga sementara politik hukum pemerintah seperti ini seperti petir di siang hari ditengah kerinduan dan suasana hikmat di Bulan Suci Ramadahan 1442 H.
Mudik lebaran sebagai tradisi mayoritas umat Islam tentu memiliki legitimasi sosial religiusitas yang cukup kuat dan mengakar bagi sebagian besar masayarakat karena sudah menjadi kebiasaan yang sarat dengan nilai-nilai kekeluargaan, agama dan budaya. Sementara aturan hukum yang dibuat pemerintah yang alat legitimasinya melalui instrumen negara seperti aparat hukum, TNI/Polri, Satuan Pamon Praja belum tentu bisa dipatuhi masyarakat dan adanya kesiapan rekayasa hukum yang cukup matang oleh pemerintah daerah.