Sebab kepatuhan hukum selalu berkaitan pada situasi normal, kepatuhan hukum dalam situasi tidak norma akibat pandemi melahirkan resistensi ketidakefektifan keberlakuan aturan itu sendiri. Sebab fakta situasi pandemi yang sudah memasuki tahun kedua telah banyak menguras energi, emosi, sumber daya publik PHK, lapangan pekerjaan yang sulit dan koordinasi penanganan dilapangan masih terus jadi masalah yang pelit.
Secara sosiologis hukum aturan yang dibuat negara jika tidak sesuai dengan alam kesadaran hukum, sosiologis, adat istiadat, agama maka akan mengalami krisis legitimasi atau penolakan dari masyarakat. Secara teoritik hukum yang tidak dijalankan masyarakat maka aturan itu tidak memiliki legitimasi dan efektivitas.
Meneropong kebijakan seperti ini maka alat ukurnya adalah konstitusi dan peraturan perundang-undangan apakah kebijakan seperti ini memiliki kekuatan hukum dan keabsahan hukum baik secara legalitas maupun secara konstitusional.
Apakah suatu surat edaran memiliki kekuatan memaksa atau memiliki kekuatan hukum mengikat secara konstitusi dan peraturan perudang-undangan.
Pertama kalau kita belajar hukum tata negara maka kita dengan muda memahami bahwa setiap aturan pembatasan terhadap hak warga negara harus dengan undang-undang berdasarkan pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 maka, dalam konteks prinsip dasar konstitusi dan prinsip hirarki peraturan perundang-undangan tersebut menyampingkan setiap kebijakan negara atau keputusan yang diambil pemerintah dalam bentuk peraturan dibawah undang- undang.
Apalagi melalui produk peraturan kebijakan atau beleid sejenis surat edaran adalah peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) berlaku secara internal dan bukan merupakan jenis peraturan perundang-undangan (regeling) berdasarkan UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bukan pula Keputusan (beschikking) sehingga dari sisi kekuatan legitimasi hukumnya akan bermasalah apalagi jika suatu SE memuat sanksi memuat sanksi sosial, sanksi denda dan sanksi lainnya.
Kedua, apakah larangan mudik ini masih dalam konteks PSBB atau bentuk lain dari karantina sehingga mempertanyakannya secara hukum sepertinya beralasan sehingga apakah SE seperti ini memiliki basis legitimasi yuridis yang kuat.
Seperti diketahui status hukum penanangan covid-19 adalah PP. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan keadaan darurat kesehatan melalui kebijakan PSBB bukan darurat hukum atau negara dalam keadaan darurat atau kebijakan karantina wilayah. Dalam pasal 4 PP ini disebutkan PSBB paling sedikit meliputi:
a. Peliburan sekolah dan tempat kerja;
b.pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Sehingga isu hukum yang muncul apakah kebijakan larangan mudik yang berlaku secara nasional adalah bagian dari pelaksanaan PSBB dan apakah cukup memiliki basis yuridis sepanjang berkaitan dengan status PSBB tersebut sebab kebijakan pembatasan secara normatif hanya dimungkinkan bagi wilayah yang berstatus PSBB sesuai kriteria dan penetapan dari menteri kesehatan, bukankah mayoritas daerah di Indonesia tidak berstatus PSBB, artinya rasio legisnya kegiatan pembatasan bagaimanapun bentuknya termasuk larangan mudik tidak bisa dipisahkan dengan status PSBB itu sendiri.
Dalam kaidah hukum tidak boleh ada kecacatan yuridis seperti paksaan dalam membuat kebijakan baik bentuk, format harus sesuai isi dan tujuan yang hendak dicapai dari peraturan dasarnya.
Dalam konteks kita bernegarapun demikian sebagai negara hukum yang demokratis juga diperlukan cara-cara berhukum yang tertib dengan menyandarkan suatu kebijakan pada kaidah-kaidah dan prinsip negara hukum, prinsip hak asasi manusia, prinsip demokrasi dan nilai-nilai pancasila itu sendiri harus betul diperhatikan jangan sampai alasan kehawatiran tsunami pandemi covid-19 lalu kita mulai lupa moralitas konstitusi dan kaidah-kaidah berhukum yang baik disampingkan dan nilai-nilai budaya bangsa ini.