BERITA UTAMAMIMIKA

Diduga Sengaja Hindari Pidana Mati, Mahasiswa Nduga Protes Proses Hukum Terdakwa Mutilasi Warga Sipil di Timika

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
6
×

Diduga Sengaja Hindari Pidana Mati, Mahasiswa Nduga Protes Proses Hukum Terdakwa Mutilasi Warga Sipil di Timika

Share this article
IMG 20230119 WA0042
Para pelajar dan mahasiswa Nduga menuntut penegakan hukum pada kasus mutilasi 4 warga sipil di Timika.

Timika, fajarpapua.com – Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Se-Indonesia Wilayah Barat menyatakan ketidakpuasan atas proses hukum terdakwa kasus penembakan dan mutilasi warga sipil Timika.

Mereka menilai proses persidangan sejak awal berlangsung lambat, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung melindungi para pelaku dari hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

ads

Koordinator Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/I Nduga Se-Jawa dan Bali (IPMNI), Pinus Nirigi dan Laorens Kerebea dalam pernyataan sikap yang diterima fajarpapua.com, Kamis (19/1/2023) menegaskan, perencanaan, penembakan dan mutilasi empat warga sipil pada 22 Agustus 2022 atas nama Alm. Arnold Lokbere, Alm. Irian Nirigi, Alm. Lemanion Nirigi dan Alm Atis Tini dilakukan secara sadar, terencana dan sistematis. Hingga kini 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, dan 6 diantaranya merupakan prajurit aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.

Terdakwa enam Prajurit TNI) yang disidangkan yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui pengadilan militer III -19 Jayapura, Papua.

Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Untuk 4 tersangka sipil berkas perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan umum.

Proses persidangan pelaku militer sudah berlangsung sejak tanggal 12 sampai 14 Desember 2022 di Jayapura dengan agenda pemeriksaan oknum pelaku, pemeriksaan saksi korban, dan penjualan senapan api.

Pada tahap selanjutnya tanggal 16-17 Januari pemeriksaan tersangka Mayor Hermanto Fransiskus Dakhi dan persidangan lanjutan pada tanggal 19 Januari 2023.

Dikemukakan, dalam siaran pers koalisi masyarakat sipil untuk penegakan Hukum dan HAM pada 16 Januari 2023 menyebutkan ada beberapa hal yang berjalan serampangan dan terkesan melindungi pelaku TNI, diantaranya persidangan tidak akuntabel, transparan. Bahkan pelaku yang berlatar belakang pangkat Mayor didakwa tidak cermat menggunakan Pasal 480 KUHP dan jauh dari harapan keluarga.

“Sejak awal kami mahasiswa/I telah menyatakan bahwa segala proses hukum harus dilakukan secara transparan dan terbuka untuk umum. Sesuai dengan permintaan keluarga juga bahwa proses hukum harus dilakukan di Timika, entah itu pelaku sipil maupun militer,” tegas Pinus.

Belajar dari berbagai kasus yang ditangani oleh pengadilan militer selama ini dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. Pada pengadilan HAM juga mengalami persoalan yang sama, sebut saja kasus Biak berdarah (1998), Paniai berdarah (2014), wasior berdarah (2001) dan kasus lainnya.

Yang lebih parahnya lagi pada kasus Paniai berdarah tersangka Isak Sattu divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM di Makassar (Desember 2022).

“Dari proses-proses ini kita melihat bahwa negara cenderung dengan sengaja melakukan pembiaran dan tidak memiliki niat baik,” paparnya.

Karenanya, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/I Nduga Se-Jawa dan Bali (IPMNI) yang tergabung bersama keluarga korban menyatakan sejumlah point:

Pertama, menolak terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi didakwa menggunakan Pasal 480 KUHP oleh Orditurat Tinggi berdasarkan informasi SIPP. Hal ini sangat cacat hukum, karena susunan dan struktur dakwaan ini dianggap sangat problematis, sebab menaruh Pasal 480 Ke-2 KUHP Tentang Penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai Dakwaan Primer adalah merusak harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua.

Kedua, Hakim Militer Tinggi III Surabaya dan Orditurat Tinggi Makassar sangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku.

Ketiga, pelajar dan mahasiswa juga menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak mana pun selama persidangan berlangsung.

Keempat, setiap pelaku wajib diberikan hukuman yang setimpal dengan menggunakan Pasal 340 KUHP (Terencana, Terstruktur, dan Sistematis).

Kelima, Mahkamah Agung segera mencabut dan mengatrol dakwaan-dakwaan manipulatif yang terjadi pada persidangan.

Keenam, menuntut pelaku dihukum mati.

Karenanya mereka mendesak kepada :

  1. Presiden Jokowi untuk melihat segala fakta proses persidangan bagi orang Papua secara langsung.
  2. Menkopolhukam melakukan kontrol atas setiap persidangan di Papua.
  3. Panglima Tentara Nasional Indonesia melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika;
  4. Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil.
  5. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia segera memutuskan permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban.(red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *