BERITA UTAMAPAPUA

Memeriksa Kembali Kasus Paniai

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
5
×

Memeriksa Kembali Kasus Paniai

Share this article
Frans Maniagasi
Frans Maniagasi

Oleh : Frans Maniagasi**

Timika,fajarpapua.com – Pada 3 Desember 2021 Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Surat Keputusan (No 267/2021) tentang pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat kasus Paniai di Papua tahun 2014.

ads


Pembentukan Tim ini merupakan respon terhadap Surat Komnas HAM ( No 153/PM.03/0.1.0/IX/2021) tanggal 27 September 2021 perihal Pengembalian Berkas Perkara terhadap Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Paniai tahun 2014 di Papua untuk dilengkapi.


Alasannya belum terpenuhi alat bukti yang cukup karena itu diperlukan penyidikan umum dalam rangka mengumpulkan alat bukti. Alat bukti diperlukan untuk membuat terang benderang tentang dugaan pelanggaran HAM Berat guna menemukan pelakunya.


Dikeluarkannya keputusan Jaksa Agung dan Surat Perintah Penyidikan serta pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat kasus Paniai di Papua yang diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ( Jampidsus) Ali Mukartono dengan anggotanya berjumlah 22 orang terdiri dari para Jaksa senior diharapkan dapat menemukan alat bukti baru untuk mengetahui dan memperkuat dugaan terhadap siapa pelaku yang melakukan tindakan pelanggaran HAM Berat di Paniai.


Seperti diketahui pada 7 – 8 Desember 2014 di Enarotali Paniai telah terjadi insiden yang berawal dari sekelompok pemuda yang menegur anggota TNI yang membawa mobil Toyota Fortune Hitam – berujung pada penganiayaan.

Tidak puas dengan perlakuan kekerasan anggota TNI itu maka rombongan masyarakat mendatangi Polsek dan Koramil di Enarotali untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban.


Tanggal 8 Desember masyarakat marah dan tidak puas terhadap perlakuan dan tindakan aparat mereka melakukan pemalangan jalan tepatnya di Kilometer 4 jalan poros Madi – Enarotali distrik Paniai Timur (lokasi Gunung Merah). Masyarakat menuntut aparat mesti bertanggungjawab.

Aksi pemalangan jalan oleh masyarakat tersebut kemudian direspon secara berlebihan oleh aparat keamanan sehingga memicu terjadi tindakan anarkhis. Massa marah dan mengejar aparat TNI hingga kelapangan Karel Gobay.


Sambil menari tarian Waita masyarakat melakukan pelemparan terhadap sejumlah kantor pelayanan publik seperti kantor Distrik Paniai Timur dan Koramil. Aparat menanggapi dengan tindakan represif hingga 4 (empat) orang meninggal dunia akibat tertembak dan puluhan lainnya mengalami luka – luka.


Pola Kekerasan


Cara atau pola aparat merespon tuntutan masyarakat di Paniai – pada umumnya di Papua telah diframe sebagai wilayah konflik. Sehingga penerapan kebijakan keamanan menjadikan Paniai sebagai salah satu daerah konflik diwilayah Pegunungan Tengah maka operasi keamanan menjadi justifikasi dengan argumentasi membantu Polri.

Pandangan seperti itu menjadi pembenaran untuk menempatkan personil TNI dan penyediaan atau alokasi anggaran dan kegiatan operasi TNI dan kekerasan pun dilegalkan.


Secara legal formal Komando Pengendalian dalam operasi pembantuan berada di kepolisian tapi pada moment tertentu dan dipandang eskalasi konfliknya meningkat maka terjadi pengalihan komando dipegang oleh TNI.

Legalitas ini maka pertanggungjawaban komando dalam menanggapi aksi masyarakat baik oleh TNI maupun Polri menjadi bias.


Alasannya cipta kondisi dalam rangka keamanan maka aparat melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan terhadap aksi masyarakat seperti penangkapan, penahanan, penyiksaan, penganiayaan, penyerangan terhadap penduduk sipil, penembakan terhadap Orang Asli Papua (OAP) diluar hukum merupakan tindakan yang sah saja.


Implikasi Pola Kekerasan


Pola kekerasan seperti itu jika dikaitkan dengan hasil temuan Komnas HAM kasus Paniai ( Merawat Ingata Menjemput Keadilan, Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat, oleh Tim Publikasi Komnas HAM, 2020), maka pada bagian tubuh korban yang luka – luka (kuping, kepala dan punggung) merefleksikan adanya benang merah dalam menggunakan senjata laras panjang terhadap 11 (sebelas) korban anak – anak usia antara 10- 16 tahun.


Demikian juga terhadap 4 (empat) korban pembunuhan lainnya dari luka – lukanya diduga dilakukan oleh aparat dari satuan Yonif 753/AVT di Paniai. Hal ini didukung oleh hasil Visum et repertum yang dikeluarkan oleh RSUD Paniai, dari luka – luka pada tubuh korban patut diduga dilakukan oleh orang yang terlatih.


Dan telah menjadi rahasia umum di Papua biasanya tidak ditemukan selongsong peluru maupun bekas tembakan pada TKP, dan hasil uji balistik pun nihil. Selan itu telah menjadi opini dikalangan masyarakat Papua termasuk di Paniai pasca kejadian ditandai oleh pergantian atau penarikan pasukan ( Yonif 753/AVT) dari lokasi itu.


Pada waktu yang bersamaan itu dilevel atas diikuti kebijakan penghentian proses hukum yang dilakukan Polda Papua karena adanya intervensi Pusat melalui keputusan Menko Polhukam membentuk Tim Terpadu Investigasi penanganan kasus kekerasan di Paniai. Hasil dari Tim Terpadu tak mampu mengungkap siapa pelaku penganiayaan dan pelaku penembakan yang mengakibatkan terbunuhnya 4 (empat) orang dan yang luka – luka.


Mandatpun dikembalikan kepada Polda Papua dan Kodam XVIII Cenderawasih untuk melakukan upaya hukum dengan alasan bahwa anggotanya tidak cukup bukti untuk dijatuhi tindakan pidana.


Ancaman juga dialami oleh saksi, fakta dari temuan Komnas HAM (idem) bahwa saksi dari unsur kepolisian mendapat tekanan dan ancaman untuk tidak menceritrakan peristiwa yang diketahuinya kepada siapapun.

Kepada Tim Komnas HAM saksi menyatakan terancam keselamatannya jika memberikan kesaksian sehingga memohon perlindungan. Didalam penanganan kasus pun ada waktu kedaluwarsa. Artinya kasus tindak pidana tak dapat diperiksa dan diadili karena alasan waktunya telah lewat (KUHP).


Optimisme tapi pesimisme

Keputusan Jaksa Agung membentuk Tim Penyidikan kasus Paniai disatu pihak memberikan optimisme dan harapan bahwa Pemerintah memiliki komitmen dan tekad untuk memeriksa dan membuka kembali kasus ini dengan tujuan agar dapat menemukan alat bukti baru sekaligus konfirmasi terhadap hasil temuan Komnas HAM dalam rangka penyelesaian kasus Paniai. Tapi dengan membaca dan memahami hasil laporan temuan Komnas HAM dilain pihak rasanya pesimistis. Betapa tidak.


Selama dan sepanjang persepsi bahwa Paniai khususnya dan Papua umumnya masih dipandang sebagai wilayah konflik maka selama itu Tim apa pun yang dibentuk untuk memeriksa ulang kasus Paniai saya skeptis dan ragu tidak akan memberikan kemajuan yang signifikan dalam mengungkap kebenaran terhadap kasus ini.


Deskripsi singkat merujuk pada hasil temuan yang dilakukan oleh Komnas HAM terhadap kejadian Paniai menurut pendapat saya memeriksa kembali kasus ini oleh Tim Kejaksaan Agung untuk menemukan alat bukti baru tidak akan optimal.


Artinya mengingat waktu terjadinya peristiwa Paniai 2014 yang telah berjalan 8 ( delapan) tahun dan telah beralihnya pasukan dari kesatuan TNI ( Yonif 753/ AVT) yang bertugas pada saat terjadinya insiden ini dan penghilangan alat bukti dilapangan oleh aparat keamanan maupun hasil temuan Komnas HAM tidak akan memberikan pengaruh yang berarti untuk menemukan alat bukti baru dalam rangka mengungkap kebenaran dari kasus ini.


Seyogyanya Kejaksaan Agung menindak lanjuti hasil temuan dan rekomendasi Komnas HAM sebab sebagai institusi yang dibentuk oleh Undang – undang ( UU No 39/1999) telah melaksanakan tupoksinya.


Saya cuma mengingatkan Kejaksaan Agung jangan melempar kotoran kemuka Presiden jika gagal menuntaskan kasus Paniai. Sebab kasus ini terjadi justru diawal Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla tiga bulan setelah dilantik sebagai Presiden dan Wapres Oktober 2014 dan janji Presiden kepada masyarakat Papua untuk menuntaskan peristiwa Paniai berdarah tatkala menghadiri perayaan Natal bersama Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat di Lapangan Mandala Jayapura pada 27 Desember 2014. Semoga#######
** Frans Maniagasi. Pengamat Politik Lokal Papua dan Koordinator Kelompok Diskusi Sabang – Merauke ( FORSAM).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *