BERITA UTAMAPAPUA

Suksesnya Langkah Jenderal Ataruri di Papua Barat dan Jejak Berdarah Deklarasi Provinsi Papua Tengah

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
7
×

Suksesnya Langkah Jenderal Ataruri di Papua Barat dan Jejak Berdarah Deklarasi Provinsi Papua Tengah

Share this article
Foto: Dok.SCTV Ketua DPRD Kabupaten Paniai, Naftali Ogi, Bupati Yapen Waropen Phillips Wona, dan Ketua DPRD Kabupaten Mimika (Alm) Andreas Ubertus Anggaibak saat pembacaan deklarasi Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah di Gedung Graha Tatadisantara (Graha TDS).
Foto: Dok.SCTV Ketua DPRD Kabupaten Paniai, Naftali Ogi, Bupati Yapen Waropen Phillips Wona, dan Ketua DPRD Kabupaten Mimika (Alm) Andreas Ubertus Anggaibak saat pembacaan deklarasi Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah di Gedung Graha Tatadisantara (Graha TDS).

Sejarah Pemekaran Provinsi Papua (1)Penulis : Mustofa
(Redaktur fajarpapua.com)

TARIK ulur aspirasi pemekaran Provinsi Papua Tengah nampaknya semakin menarik untuk diikuti terutama bagi para pejuangnya.

ads

Jika menelisik ke belakang, secara dejure atau hukum, pembentukan Provinsi Papua Tengah seharusnya sudah sejak 22 atau 23 tahun lalu sudah bisa terealisasi.

Yap… diawal orde reformasi, pemerintah pusat menerbitkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Papua di dalamnya termasuk Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.

Saat itu, Almarhum Brigadir Jenderal TNI (Mar) Abraham Octavianus Atururi ditunjuk sebagai Caretaker Gubernur Provinsi Papua (Irian Jaya) Barat.

Meski sempat mendapat penolakan dari sejumlah politikus, tokoh adat dan kelompok yang pro kemerdekaan, Ataruri yang pernah menjabat sebagai Bupati Sorong periode 1992—1997 dan Wakil Gubernur Irian Jaya periode 1996—2000 terus berupaya mewujudkan berdirinya Provinsi Papua (Irian Jaya) Barat.

Saat itu sebenarnya Ibukota Provinsi Papua (Irian Jaya) Barat lebih condong ke Kabupaten atau Kota Sorong, namun kurang mendapat dukungan baik oleh masyarakat maupun pemerintah daerah setempat.

Dan upaya keras, salah satu putra Papua pertama yang meraih Pangkat Jenderal tersebut akhirnya terwujud pada 14 November 2003 dengan terbentuknya Provinsi Papua (Irian Jaya) Barat dengan Ibukota Manokwari.

Bahkan Ataruri yang dijuluki Bapak Pemekaran di Papua Barat berhasil menjabat sebagai gubernur periode 2003–2005 (Caretaker), 2006–2011 dan 2012–2017.

Mengapa Ataruri mengalihkan Ibukota Provinsi Papua (Irian Jaya) Barat ke Manokwari? Jujur penulis belum mendapat referensi yang mendasari keputusan itu.

Namun dari sejumlah catatan yang berhasil dikumpulkan, kemungkinan besar keputusan itu diambil karena beberapa faktor:

Pertama, Kantor Pembantu Gubernur Wilayah 3 terletak di Kota Manokwari sehingga memudahkan dalam menetapkan Kantor Gubernur sementara.

Kedua, dukungan dari Pemerintah Kabupaten Manokwari semasa dipimpin oleh Drs. Dominggus Mandacan. Dukungan yang diberikan berupa alokasi anggaran dan juga sumberdaya manusia untuk mendukung berjalannya pemerintahan Provinsi Papua (Irian Jaya) Barat.

Bagaimana dengan Provinsi Papua Tengah? Seperti diawal tulisan dasar hukum pembentukannya sama dengan Provinsi Papua Barat yaitu Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999, lalu kenapa tidak terwujud?

Patut diketahui bersama, sesuai amanat Undang-undang tentang Pemekaran, Drs. Herman Monim yang juga Wakil Gubernur Irian Jaya waktu itu ditunjuk sebagai Caretaker Gubernur Papua (Irian Jaya) Tengah.

Namun berbeda dengan Jenderal Ataruri yang begitu masif menyiapkan “provinsi baru”, Drs. Herman Monim kesulitan mewujudkan pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah tersebut tidak bisa dilakukan karena mendapat penolakan dari berbagai elemen di wilayah ini.

Bahkan pasca Deklarasi Irian Jaya Tengah pada 23 Agustus 2003, yang dinyatakan oleh Ketua DPRD Kabupaten Paniai, Naftali Ogi, Bupati Yapen Waropen Phillips Wona, dan Ketua DPRD Kabupaten Mimika (Alm) Andreas Ubertus Anggaibak di Gedung Graha Tatadisantara (Graha TDS) saat ini digunakan sebagai Kantor PT Salju Abadi Sejahtera Spirit yang terletak di Jalan Cenderawasih Timika terjadi kericuhan antara kelompok yang pro pemekaran dan kelompok yang kontra pemekaran.

Kericuhan antar kedua kelompok tersebut selain menimbulkan kerugian material juga menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak.

Dari catatan yang ada korban tewas pertama dari kelompok kontra pemekaran diketahui bernama Jimy Aibak dari Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa).

Sementara korban kedua atau korban pertama dari kelompok yang pro pemekaran dijetahui bernama Tinus Mom.

Bahkan sepanjang 23 Agustus hingga 1 September 2003 itu, sedikitnya 11 warga tewas dari kedua kubu yang bertikai, puluhan lainnya terluka dan banyak bangunan habis dibakar.

Mengapa Pemekaran Provinsi Papua (Irian Jaya) Tengah mendapat penolakan?

Dari sejumlah referensi, situasi Irian Jaya saat itu mulai kondusif pasca tewasnya salahsatu tokoh sentral Organisasi Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay.

Konflik tersebut muncul setelah pemerintah pusat menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 pada Januari 2003 yang ditandatangani oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri

Inpres tersebut berinduk pada Undang-undang Nomor: 45 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya.

Namun sebelumnya, pada tahun 2001, pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus Papua yang kemudian familiar dengan sebutan UU Otsus.

Dimana dalam UU Otsus tersebut, mensyaratkan pemekaran provinsi akan dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sehingga dirasa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan UU Otsus.

Parahnya lagi, Inpres Nomor 1 Tahun 2003 juga bertentangan dengan penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR menyebutkan jumlah anggota DPRD Papua disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.

Bahkan dari data yang menjadi referensi penulis disebutkan sebelum kerusuhan terjadi, lembaga internasional pemantau potensi konflik, International Crisis Group (Dividing Papua, How Not to Do It, April 2003), sudah menyoroti sejumlah nuansa lain dibalik Inpres Nomor 1 Tahun 2003.

Pertama, ada dukungan dari militer dan BIN bahwa inpres bisa memudahkan penanganan gerakan separatisme di Papua. Kemudian, ada juga nuansa pertarungan politik menuju Pemilu 2004.

Dan sejak timbulnya korban pasca deklarasi, suara untuk pemekaran Papua terutama Provinsi Papua Tengah secara perlahan menghilang.

Namun belakangan ini, aspirasi pembentukan daerah otonom baru atau DOB di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terus menguat.

Setidaknya ada lima wilayah administrasi yang diusulkan ke pemerintah pusat untuk menjadi provinsi yaitu antara lain, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri.

Penulis berpendapat, apapun dan berapapun jumlah usulan tersebut akan sangat baik jika tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat Papua dan Khususnya Orang Asli Papua.

Namun, hal itu akan menjadi sia-sia dan hanya akan menempatkan masyarakat Papua sebagai korban jika pemekaran dilakukan hanya untuk memperjuangkan kepentingan elit.(bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *