BERITA UTAMAMIMIKA

Proses Persidangan Kasus Mutilasi 4 Warga di Timika Dikecam Koalisi Masyarakat Sipil, Ini Tiga Catatannya….

cropped 895e2990 d422 4061 9705 e533253f1607.jpg
8
×

Proses Persidangan Kasus Mutilasi 4 Warga di Timika Dikecam Koalisi Masyarakat Sipil, Ini Tiga Catatannya….

Share this article
IMG 20230118 WA0047
Foto: Dok. Proses rekonstruksi kasus mutilasi 4 warga yang dilaksanakan di Jalan Budi Utomo Ujung pada September 2022 lalu.

Jakarta, fajarpapua.com- Proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil dalam kasus mutilasi empat warga di Timika, Papua Tengah yang diadili secara terpisah menimbulkan persoalan teknis dan tidak sesuai dengan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, PAHAM, LBH Papua, dan ALDP yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam proses persidangan itu karena dijalankan secara serampangan.

ads

Wakil Koordinator II KontraS, Rivanlee Anandar mengatakan dalam kasus tersebut, sebanyak 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, 6 diantaranya prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.

Rivanlee menyebut Koalisi mencatat 3 hal terkait proses persidangan tersebut. Pertama, proses persidangan tidak akuntabel dan transparan. Proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah. Terdakwa militer yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua. Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan para tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum.

Rivanlee menilai terpisahnya upaya menuntut pertanggungjawaban pidana, tidak hanya bermasalah secara teknis, tapi juga tidak bersesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Secara teknis, terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.

Keluarga korban berdomisili di Timika, ketika diperiksa sebagai saksi dalam perkara para terdakwa militer membuat keluarga harus terbang ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura menggunakan transportasi udara yang biayanya tidak murah.

“Proses peradilan tersebut sejatinya telah menjauhkan aksesibilitas keluarga korban yang berdomisili di Timika terhadap proses peradilan,” kata Rivanlee, Rabu (18/1) seperti dikutip fajarpapua.com dari situs hukumonline.com.

Mengacu Pasal 16 UU No.48 Tahun 2009, seharusnya tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum.

Apalagi pihak yang paling dirugikan dalam perkara ini adalah kalangan sipil.

Sehingga tidak ada lasan persidangan dilakukan terpisah, tapi harus dilakukan di peradilan umum. Hal itu diperparah oleh absennya kepastian informasi yang diterima Koalisi terkait pelaksanaan sidang di peradilan militer.

Kedua, pelaku yang berlatar belakang pangkat Mayor didakwa secara tidak cermat oleh oditur.

Secara umum, Rivanlee melihat susunan dan struktur dakwaan sangat problematis karena menaruh Pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer.

Padahal dalam hukum pidana, bentuk surat dakwaan subsidair yang ideal adalah dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan, mulai dari dakwaan tindak pidana ‘yang terberat’ sampai kepada dakwaan tindak pidana ‘yang teringan’.

Susunan dakwaan yang ada pada peradilan militer tersebut kami khawatirkan akan berimplikasi pada tuntutan dan putusan yang sangat ringan bagi para pelaku, khususnya dari kalangan militer.

Tak kalah penting, proses penghukuman terhadap seluruh pelaku militer harus disertai dengan hukuman tambahan berupa dipecat secara tidak hormat dari institusi militer.

Ketiga, jauh dari harapan keluarga. Proses peradilan yang mendakwa para tersangka secara terpisah sebagaimana berjalan hingga saat ini masih jauh dari harapan keluarga para korban.

Dari awal kasus ini ditangani para penyidik Subdenpom XVII/C Mimika dan Satreskrim Polres Mimika, keluarga menuntut agar tersangka diadili melalui peradilan umum.

Keluarga juga menginginkan agar peradilan umum tersebut juga dilaksanakan di Mimika agar dapat turut memantau proses jalannya persidangan.

Sayangnya proses pencarian keadilan bagi korban yang didambakan keluarga tidak diakomodir oleh negara melalui institusi penegak hukum.

Rivanlee mencatat hal itu dapat dilihat dari proses persidangan yang dilakukan terpisah dan tidak diadili melalui peradilan umum.

Selain itu, upaya perlindungan bagi keluarga yang akan diperiksa sebagai saksi dalam proses persidangan masih belum mendapatkan kejelasan dari lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK).

Koalisi mendesak Panglima TNI untuk melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika.

Ketua LPSK diharapkan segera memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban.

Ketua Mahkamah Agung perlu melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil ini. (red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *